Bisa jadi kisah Siti Hajar dan anaknya Ismail as merupakan bagian dari kisah tragika yang membangkitkan kesadaran diri kita akan suatu nilai dalam kehidupan. Faktanya kisah itu terus-menerus menginspirasi jutaan manusia di sepanjang sejarahnya. Bulan ini jutaan manusia, dari berbagai penjuru yang jauh (fajjun ‘amiq) datang ke tempat yang paling dimuliakan, Makkah al-Mukarramah. Mereka tengah menangkap makna kisah itu dan berusaha menghayatinya secara empirik demi memperkuat religuitas untuk kepentingan perjalanan spiritual mereka.
Ketika itu terik padang pasir menguras peluh siapa pun yang berjalan apa lagi yang berlari. Siti Hajar menggendong anaknya yang masih menyusui erat-erat sambil berjalan cepat mengikuti Nabi Ibrahim yang membawa mereka ke satu tempat yang belum sepenuhnya dimengerti oleh sang ibu. Dan, Ibrahim kemudian meninggalkan keduanya di tempat itu, di sisi ka’bah, di sekitar padang pasir yang luas, di kelilingi bukit-bukit batu yang keras. Tidak ada seorang pun yg tinggal di sekitarnya. Tiada air dan tiada pula orang yg menemaninya selain Ismail as yang selalu didekapnya.
Nabi Ibrahm as, sang ayah, hanya menyediakan satu kantong berisi kurma dan satu bejana berisi air buat anak dan isterinya. Kemudian ia pergi meninggalkan mereka di tempat yang ternyata kemudian menjadi pusat peradaban tauhid itu.
”Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Nabi Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah kami memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’dan sujud.” (QS, al-Hajj [22]: 26)
Rasa dan naluri keibuan Siti Hajar benar-benar berontak ketika ia mendapati suaminya akan meninggalkan dirinya bersama anaknya di tempat yang lengang itu. Ia lalu mengejar Ibrahim dan membiarkan Ismail meronta-ronta dan menangis dalam bungkusan sehelai kain.
Siti Hajar berteriak, “Wahai Ibrahim ke mana engkau akan pergi? Dan engkau tinggalkan kami di lembah yang sepi, tidak ada tetangga, dan tidak tersedia apa- apa.” Siti Hajar terus mengulang-ulang teriakannya. Suaranya memantul-mantul di dinding-dinding bukit batu. Lalu ditelan kesepian padang pasir. Sementara, di langit sana, ribuan Malaikat mengepakkan sayapnya, mengalunkan tasbih dan tahmid, memuji kebesaran Allah swt, menyambut peristiwa yang paling mengharukan itu.
Gema dan pantulan teriakan Siti Hajar serta riuh rendah suara tasbih dan tahmid di langit sana, mengusik Nabi Ibrahim as untuk membalikkan badan dan menoleh ke Istrinya. Di hadapan isteri yang dicintainya Ibrahim pun merunduk tafakkur. Dan sang isteri menatapinya dengan ekspresi meminta kepastian. Keheningan pun menghentikan sementara desir angin padang pasir, suara-suara gema, dan riuh rendah tasbih dan tahmid seakan-akan semuanya menanti apa yang akan ditanyakan selanjutnya oleh seorang ibu dan isteri kepada suami yang dicintainya.
Dengan ekspresi memohohon kepastian, Siti Hajar berkata, “Apakah Allah swt yang memerintahkan hal ini kepadamu wahai suamiku.?” Ibrahim as menjawab singkat seraya menatap isterinya dengan penuh kepastian, “Ya, benar”. Siti Hajar kemudian berkata dengan penuh kepastian pula, “Kalau begitu, Allah swt pasti tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Ketika itulah angin padang pasir berdesir kembali seraya mengeluarkan bunyi yang asing, suara-suara gema memantulkan bunyinya lebih mengharukan, dan suara riuh tasbih dan tahmid menjadi gemuruh memenuhi angkasa. Semuanya seolah-olah mengamini apa yang dikatakannya dengan penuh keriangan. Siti Hajar pun berbalik dan meninggalkan suami tercintanya dengan kerelaan dan kepastian, kembali menemui anaknya. Siti Hajar memandangi suaminya sampai jauh hingga akhirnya tak tampak lagi.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim as melanjutkan perjalanannya. Ketika ia sampai di sebuah bukit, di mana istri dan anaknya sudah tak melihatnya lagi, ia menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a :
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang di hormati. Ya Tuhan kami (yg demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki mereka dari buah2an,dan mudah2an mereka bersyukur.” (QS, Ibrahim [14]: 37)
Sementara itu Siti Hajar tetap menyusui anaknya dan minum sisa air pemberian suaminya. Namun, ketika air yang ada dalam bejana itu telah habis, dan ia ia merasa haus serta anaknya menjadi kehausan pula, ketika itulah sesungguhnya drama kemanusiaan sedang berproses seolah-olah menjadi tragika.
Sebagai seorang ibu, ia merasa iba melihat anaknya yang kehausan, meronta-ronta karena ingin minum. Kemudian ia meninggalkannya dan pergi mencari air. Ia naik ke bukit yang kemudian diberi nama Shafa’ itu, sebuah bukit yang terdekat dengan tempat Ismail diletakkan. Dari atas bukit kedua matanya mengapu lembah-lembah yang mengelilinginya dengan harapan akan tampak mata air. Akan tetapi ia tidak melihatnya sama sekali.
Kemudian ia turun dari bukit Shafa dan terus berlari-lari menuju satu bukit yang kemudian disebut Marwah. Ia berdiri di atas bukit itu dan mengarahkan pandangannya ke sekelilingnya dengan harapan dapat menemukan mata air. Akan tetapi tidak menemukannya juga. Secara dramatik, Siti Hajar terus berlari-lari antara bukti Shafa dan Marwah sampai 7 kali.
Ketika Hajar berada di bukit Marwa untuk yang ke 7 kalinya, ia mendengar suara yang menakjubkan itu. Ia menoleh ke arah suara yang berbunyi, “Tenanglah”. Siti Hajar sejenak tertegun dan tafakkur mendengar suara yang ditujukan kepada dirinya. Dengan seksama ia menyimak suara itu dan terdengarnya kembali. Lalu ia berteriak ke arah suara yang menenteramkan jiwanya itu, “Suaramu telah terdengar. Apakah engkau membawa setetes air? Tolonglah kami!”
Dikisahkan, Malaikat menghampiri Ismail yang sedang menangis kehausan. Lalu menggerak-gerakkan tanah dekat tumit Ismail as di dekat zamzam sehingga keluarlah air yang memancar. Rasa gembira membuncah di hati Siti Hajar melihat peristiwa yang menakjubkan itu. Ia lalu berusaha untuk menampung dengan tangannya dan mengisikannya ke dalam bejana pemberian suaminya itu. Dan mata air itu terus memancarkan airnya dengan derasnya. Dan Malaikat itu kemudian berkata kepadanya, “Jangan khawatir di sia2kan, karena sesungguhnya di sini ada Baitullah yang akan di bangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan Allah tidak akan menyia2kan kekasihNya.”
Sesungguhnya segmen perjalanan anak manusia yang dialami Siti Hajar adalah cermin kesetiaan seorang ibu terhadap titah Tuhannya. Kesetiaan itulah yang memancar pada kesejatiannya sebagai ibu dan sebagai isteri yang ditandai dengan kasih sayang dan ketulusan. Masihkah ada Siti Hajar lain di dunia yang ingar bingar dengan kebencian dan kecurigaan ini?