Berikut nasehat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ketika beliau ditanya: “Ada seorang muslim yang hendak menunaikan ibadah haji, apa saja hal-hal yang semestinya dia lakukan agar ibadah hajinya diterima insya Allah?” [1]
Beliau mengatakan: Beberapa hal yang semestinya dia lakukan agar hajinya diterima adalah:
1. Berniat bahwa ibadah hajinya tersebut ditunaikan dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wajalla, inilah yang dimaksud dengan ikhlas.
2. Dan hendaknya dia juga mengikuti (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menunaikan manasik hajinya, dan inilah yang dimaksud dengan mutaba’ah.
Sesungguhnya setiap amalan shalih itu tidak akan diterima (di sisi Allah ‘azza wajalla) kecuali dengan terpenuhinya dua syarat yang pokok tersebut, yaitu: ikhlas dan mutaba’ah terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (ikhlas) dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكلأ مري ما نوى
“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan tersebut.” [2]
Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan kami, maka amalannya tersebut tertolak.” [3]
Inilah kewajiban terpenting bagi seorang jama’ah haji, untuk dia mendasarkan amalannya di atas keikhlasan kepada Allah ta’ala dan mutaba’ah terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika beliau sedang menunaikan ibadah haji:
لتأخذوا عني مناسككم
“Hendaknya kalian mengambil dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian.” [4]
Dan di antara hal yang semestinya dilakukan oleh seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji adalah harta/uang yang digunakan itu berasal dari harta yang halal, karena menunaikan ibadah haji dengan menggunakan harta yang haram, maka ini hukumnya adalah haram. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa hajinya tidak sah jika seseorang berhaji dengan menggunakan harta yang haram. Sebagian ulama juga ada yang mengatakan dalam bait syairnya:
إِذَا حَجَّجْتَ بِمَالٍ أَصْلُهُ سُحْتٌ
فَمَا حَجَّجْتَ وَلَكِنْ حَجَّتِ
الْعِيْرُ
فَمَا حَجَّجْتَ وَلَكِنْ حَجَّتِ
الْعِيْرُ
“Jika engkau berhaji dengan harta yang asalnya haram. Maka pada hakekatnya engkau tidak berhaji, akan tetapi untanya sajalah yang berhaji.”
Yakni hanya untanya (kendaraannya) sajalah yang berhaji.
Dan di antara hal yang semestinya dilakukan oleh seseorang yang hendak menunaikan ibadah haji adalah menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Allah ‘azza wajalla, berdasarkan firman-Nya:
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Al-Baqarah: 197)
Maka hendaknya dia menjauhi segala yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla secara umum, baik ketika haji maupun yang lainnya, seperti perbuatan fasik, maksiat, ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan, mendengarkan alat-alat permainan (musik) dan yang semisalnya.
Dan hendaknya dia juga menjauhi dari segala yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla secara khusus ketika haji, seperti rafats, yaitu menggauli istri. Dan juga (termasuk yang diharamkan adalah) memotong rambut. Dia juga harus menjauhi (tidak mengenakan) pakaian yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dipakai ketika ihram. Dengan kata lain, dia harus menjauhi semua mahzhuratul ihram (hal-hal yang terlarang ketika ihram). [5]
Dan bagi seorang jama’ah haji, hendaknya dia juga bersikap lembut, mudah (toleran), dan pemurah (suka memberikan bantuan kepada orang lain) dengan harta, kedudukan, dan amalannya, serta berbuat baik kepada saudara-saudaranya semaksimal kemampuan dia.
Wajib pula baginya untuk menjauhi segala perbuatan yang merupakan bentuk gangguan terhadap kaum muslimin, baik ketika di masya’ir (tempat-tempat tertentu untuk menunaikan manasik), maupun di pasar-pasar. Tidak mengganggu kaum muslimin ketika kondisinya sedang berdesakan, baik di tempat thawaf, tempat sa’i, tempat melontar jumrah, dan yang lainnya.
Inilah beberapa hal yang semestinya atau bahkan wajib bagi seorang jama’ah haji untuk diamalkan.
Dan di antara faktor terpenting untuk merealisasikan itu semua adalah hendaknya seseorang mencari pendamping (dan pembimbing) dari kalangan orang-orang yang berilmu, sehingga dia bisa mengingatkan (dan mengajarinya) dalam permasalahan agamanya. Jika tidak bisa mencari pendamping/pembimbing dari seorang yang berilmu, maka hendaknya dia membaca kitab-kitab karya ulama yang terpercaya (dan bisa dijadikan sandaran) sebelum berangkat haji agar dia benar-benar bisa beribadah kepada Allah ta’ala di atas bashirah (ilmu).
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=341156 nukilan darihttp://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_5580.shtml dengan tambahan catatan kaki dari penerjemah.
Catatan kaki:
[1] Hanya Allah ta’ala saja yang mengetahui apakah amalan seseorang diterima di sisi-Nya atau tidak. Alhamdulillah syari’at ini telah membimbing dan memberikan petunjuk kepada kita tentang beberapa hal yang menjadi sebab diterimanya amalan seorang hamba di sisi Allah ta’ala sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, maka seorang hamba dituntut untuk berusaha agar amalannya diterima di sisi Allah ‘azza wajalla dengan menjalankan bimbingan dan petunjuk syari’at tersebut.
[2] Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
[3] HR. Muslim, dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[4] HR. Ahmad, Al-Baihaqi, dari shahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Dan dengan lafazh yang semakna juga diriwayatkan oleh Muslim.
[5] Insya Allah beberapa hal yang termasuk mahzhuratul ihram telah dipelajari oleh masing-masing jama’ah haji.